Selasa, 30 Desember 2008

Pesta Orang Mati Ala Toraja



Ketika berada di Toraja, saya sering mendengar cerita dari masyarakat tentang acara atau pesta kedukaan untuk orang meninggal yang dilakukan oleh orang Toraja yang bisa menghabiskan duit ratusan juta rupiah. Saya jadi penasaran seperti apa kegiatan kedukaan tersebut. Dari cerita-cerita yang saya kumpulkan, katanya setiap kegiatan pesta kedukaan, keluarga dan kerabat duka menyumbang dalam pesta tersebut. Baik itu uang, barang maupun binatang yaitu kerbau dan babi.

Karena penasaran, saya dan teman-teman satu team penelitian sudah merencanakan untuk menghadiri acara kedukaan jika seluruh proses wawancara di delapan kelurahan di Kecamatan Makale selesai. Namun dari informasi yang kami peroleh dari sejumlah warga, rupanya tidak ada acara kedukaan pada saat wawancara kami selesai yaitu sekitar tanggal 12 – 14 desember. Untung saja, ketika kami berada di kelurahan Kamali Pentaluan, pak Sumalinggi (ketua RT Pentaluan) mengajak kami ke acara kedukaan keluarganya di daerah Sa’dang Balusu di Rantepao tanggal sepuluh desember. Saya sangat senang bisa diajak ke pesta tersebut.

Saat tanggal sepuluh tiba, kami menyewa sebuah mobil avanza untuk dipakai ke lokasi tersebut, sekalian jalan-jalan ke beberapa tempat wisata yang ada di Toraja. Perjalan ke lokasi acara tersebut sekitar satu jam dari lokasi base camp kami di kelurahan Pantan kecamatan Makale. Perjalanan menuju lokasi acara tersebut cukup melelahkan, karena sekitar lima kilo meter kami harus melintasi jalan pengerasan yang berliku dan licin karena hujan. walaupun melelahkan, saya cukup menikmati perjalanan tersebut, karena banyak pemandangan indah yang dijumpai saat perjalanan tersebut, sampai tidak terasa akhirnya kami sampai juga di lokasi acara tersebut.

Kami kesana satu rombongan dengan keluarga pak Sumalinggi dari Kamali Pentaluan. Keluarga pak Sumalinggi menyumbang tujuh ekor babi pada keluarga duka di acara tersebut. Sebelum kami memasuki tempat acara rambu solo, rombongan kami terlebih dahulu mendaftar ke panitia acara pada pintu gerbang (pos) yang telah disiapkan panitia keluarga. Di pos tersebut, semua keluarga, kerabat dan tamu didaftar beserta sumbangan yaitu babi dan kerbau yang dibawa. Sayangnya, saya tidak sempat menyaksikan acara Mapasonglo, yaitu sebuah ritual atau kegiatan mengarak keliling jenazah dari rumah duka untuk berkeliling kampung dan kemudian kembali lagi ke rumah duka.

Setelah didaftar, panitia pendaftaran membawa nama-nama keluarga, kerabat dan tamu beserta sumbangannya (kerbau & babi) ke panitia acara (MC). Setelah MC membacakan nama-nama beserta sumbangannya, barulah rombongan bisa dipersilahkan masuk ke dalam area acara rambu solo. Rombongan kami disambut dengan tari-tarian adat dan kemudian dipersilahkan untuk masuk atau menempati pondok-pondok yang telah disediakan. Pondok-pondok yang ada telah diberi nomor, sehingga rombongan langsung menempati pondok berdasarkan nomor pondoknya yang telah ditetapkan panitia.

Prosesi selanjutnya adalah, rombongan keluarga duka menjamu kami dengan beberapa suguhan, seperti rokok, kopi, teh dan kue-kue untuk anggota laki-laki. Sedangkan untuk anggota perempuan dijamu dengan kopi, teh dan pinang serta sirih. Setelah seluruh rombongan telah selesai menikmati jamuan yang disediakan, rombongan yang menempati pondok-pondok tadi dipersilahkan untuk istirahat. Kemudian dipersilahkan menempati tempat istirahat yang telah disediakan oleh panitia berdasarkan rombongannya masing-masing. Dalam bahasa toraja disebut lantang (tempat istirahat untuk makan dan bersantai).

Rupanya, setelah rombongan kami, masih ada beberapa rombongan keluarga lagi yang sementara antri untuk masuk ke lokasi acara rambu solo tersebut. Kini, sayapun tahu alasan kenapa untuk sebuah acara kedukaan orang mati, kadang bisa menghabiskan duit sampai ratusan juta rupiah. betapa tidak, sebuah acara untuk pesta orang mati dipersiapkan oleh keluarga duka sampai berbulan-bulan lamanya. mulai dari persiapan membangun pondok, sampai menyediakan babi serta kerbau untuk dikorbankan pada acara tersebut.

Saya pun menyempatkan diri berfoto dengan sejumlah anak-anak dan gadis yang berpakaian adat Toraja, sebelum akhirnya meninggalkan lokasi acara tersebut. Budaya tersebut rupaya telah dilakukan orang Toraja dari ratusan tahun lalu, dan tetap dipelihara serta dilestarikan sampai sekarang. Suatu kebanggaan bisa menghadiri pesta adat acara kematian orang Toraja.
Toraja, 10 desember 2008

Menunggu Responden Pulang ke Rumah


Sore-sore, langit tampak mendung. Sesekali terdengar bunyi gelegar guntur menggemuruh di langit sebagai tanda kalau sebentar lagi akan hujan. Saat itu saya sedang duduk di atas sebuah batu besar yang ada di bawah pohon depan rumah bapak paulus rantealo, sambil memandang ke arah selatan, menikmati hamparan bebukitan, yang di bawahnya terdapat banyak pohon rindang

Sudah hampir satu jam saya duduk di situ. Menunggu pak paulus pulang ke rumahnya. Setelah beberapa kali mengetuk pintu rumahnya dan memberi salam, tidak ada seorangpun yang keluar dari dalam rumahnya. Tampaknya rumah itu sementara ditinggal pergi oleh penghuninya. Karena tidak ingin bolak balik ke base camp, saya pun memutuskan untuk menunggu di depan rumahnya.

Sore itu saya ditemani oleh dua batang rokok djie sam soe. Pada saat ingin membakar rokok, ternyata saya tidak membawa korek api. Sial! Heheheehe.. tidak lama berselang, ada seorang bapak melintas depan rumah pak paulus, kebetulan depan rumahnya adalah jalan poros kampung. Ia berjalan sambil merokok. Saya langsung bergegas menghampiri orang tersebut untuk membakar rokok yang ada di kantung saku celana. Hhhhsssssss… akhirnya mulut saya bisa mengepulkan asap rokok aroma tembakau djie sam soe. Sangat pas dengan lpkasi pegunungan toraja yang dingin. Hanya sayang, tidak ada secangkir kopi yang dapat menambah kehangatan suasana sore itu.

Saya mulai gelisah karena satu jam lebih sudah, rumah pak paulus masih tampak kosong. Belum ada tanda-tanda sedikitpun kalau rumah itu sudah terisi lagi oleh penghuninya. Kegelisdahan itu mulai bertambah ketika satu persatu butiran hujan mulai teradsa membasahi kulit.
Tidak lama berselang, hujan pun turun dengan deras. Karena tidak ingin kebasahan, akupun bergegas menuju bawah kolong rumah pak paulus, dan akhirnya yang saya tunggu-tunggu dating juga. Pak paulus beserta istrinya kembali dengan membawa sebuah pacul dan keranjang yang berisi sayur untuk makanan babi. Aku langsung memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud kedatanganku. Rupanya mereka berdua baru saja pulang dari kebun yang jaraknya kurang lebih satu kilo meter dari rumahnya.

Paulus rantealo dan istrinya sangat ramah menyambutku. Tampa banyak pertanyaan, mereka langsung bersedia diwawancarai. Penantianku selama satu jam lebih serasa terbayar oleh kehangatan keluarga mereka. Apalagi saya disuguhi segelas kopi hangat dan diperbolehkan merokok saat wawancara, sebab pak paulus juga orangnya perokok.

Toraja, 04 des 2008

Ditolak Responden


Wawancara adalah pekerjaan yang kadang rumit, kadang pula menyenangkan. Ketika wawancara, saya banyak bertemu dengan orang-orang yang berbeda karakter. Mulai dari orang yang suka bercerita walaupun tudak berhubungan dengan topic yang diwawancarakan. Bertemu dengan orang yang pendiam dan tertutup. Berhadapan dengan orang yang jutek saat wawancara. Kadang juga berjumpa dengan orang yang tidak sekolah dan berpengetahuan rendah, tidak tahu perkembangan dan informasi di luar lingkungannya.

Ketika bertemu dengan orang yang agak terbuka dan paham dengan tema pembicaraan, proses wawancara mungkin akan lancar-lancar saja. Jika bertemu dengan orang yang sedikit tertutup namun paham topic pembicaraan, topic pembicaraan mungkin saja tidak berkembang luas. Namun jika bertemu dengan orang yang terbuka namun tiak paham dengan topic pembicaraan yang disebabkan karena kurangnya pengetahuan responden ataupun bertemu dengan orang yang tertutup ditambah orang tersebut kurang berpendidikan, sudah pasri proses wawancaranya akan sulit, lama, dan tidak banyak informasi yang akan tergali dari proses tersebut.

Saya pernah bertemu dengan orang yang lumayan berpendidikan, saat berada di kelurahan lapandan, RT Kalembang, RW Tiropadang. Orang tersebut begitu dingin merespon ketika saya saya tanyya kesediaannya untuk diwawancarai. Saya menganggap teloah banyak memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan kegiatan penelitian tersebut, dan memberikan beberapa gambaran pula tentang kemungiki8nan out put dari data-data hasil wawancara. Namun penjelasan tersebut belum juga dapat meyakinkan orang tersebut. Apalagi ketika saya bilang, jika waktu yang dibutuhkan untuk wawancara bias 2 – 3 jam.

Ada satu pertanyaan dari orang tersebut yang membuat saya tersenyum miris. Pertanyaannya, apakah wawancara yang saya lakukan dengan dia akan menghasilkan dampak langsung secara ekonomi terhadap kehidupan rumah tangganya? Jika wawancara itu dapat dirasakan langsung manfaatnya dan nyata terhadap ekonomi rumah tangganya, ia akan punya banyak waktu untuk diwawancarai. Bahkan sampai 5 jam pun ia bersedia meluangkan waktunya! Namun jika hasil wawancara itu belum jelas bias berdampak langsung begi kehidupannya, waktu 2 – 3 jam terlalu berarti untuk dia sia-siakan bersama saya untuk wawancara.

Ia lebih memilih istirahat, karena besok pagi harus berangkat kerja. Dari pada harus begadang atau menunda waktu istirahatnya selama 3 jam untuk sesuatu yang belum jelas. Parahnya, ia pun tidak bersedia mencari waktu lain selain malam harti untuk diwawancarai. Memang, saya pun tidak berani memberi janji atau jaminan bahwa data hasil wawancara itu akan bermanfaat bagi dirinya. Namun setidaknya data-data seputar kondisi social ekonomi rumah tangga masyarakat sangat begitu penting untuk penyusunan sebuah program atau dasar pertimbangan pembuatan sebuah kebijakan yang berhubungan dengan social ekonomi masyarakat. Sebab terkadang, ada beberapa kebijakan yang dibuat tidak berdasarkan pada data-data ril kondisi social ekonomi masyarakat. Sehingga wajar saja jika kebijakan yang dihasilkan terkadang tidak tepat sasaran.

Akan tetapi, ada juga masyarakat yang menganggap bahwa data-data social ekonomi rumah tangga tidak akan berpengaruh atau membawa dampak positif atas kehidupan mereka. Seperti halnya kasus yang saya jumpai di RT Kalembang tersebut. Sebuah potret masyarakat yang hidup dengan perilaku take and give. Apa yang diberi dan apa yang bias didapatkannya.

Dalam ilmu social, perilaku seperti ini dapat dikaji dengan menggunakan pendekatan perspektif teori pertukaran social. Seperti yang dijelaskan oleh Piter Blau, bahwa manusia atau masyarakat akan selalu berinteraksi atau melakukian pertukaran social dengan dasar dan landasan yang senantiasa dipengaruhi oelh kepentingan ekonomi. Yang secara sederhana diistilakan pola pertukaran take and give. Cara berpikir seperti inipun lebih sering melihat dan memandang sesuatu secara fisik dan dampak konkrit dari setiap interaksi serta pertukaran yang dilakukan.
Pikiran seperti ini akan menjadi kendala dan tantangan untuk kergiatan-kegiatan penelitian yang sifatnya social di masyarakat. Sebab kegiatan penelitian yang sifatnya social, hanya mampu menyediakn data ilmiah seputar kehidupan social ekonomi masyarakat, dan terkadang tidak bias menggaransi bahwa data ilmiah tersebut akan menghasilkan sesuatu yang konkrit ditengah-tengah tuntutan dan himpitan kebutuhan hidup manusia yang semakin kompleks.

Saya pun ditolak oleh seorang calon responden target pada survey social ekonomi rumah tangga, karena hanya mampu menjanjikan bahwakegiatan penelitian yang saya lakukan, out putnya hanya berupa data-data ilmiah seputar kondisi social ekonomi rumah tangga masyarakat saja. Dan akan digunakan untuk kepentingan penelitian saja. Tidak lebih dari itu !
01 Des 2008

Kamis, 18 Desember 2008

Penghuni Ramah di Pemukiman Padat Penduduk


Saat memasuki daerah pemakaman umum Panampu di kecamata Tallo makassar, saya tidak pernah membayangkan ada sebuah pemukiman penduduk dengan rumah yang berjejeran begitu padat di samping kiri, kanan, dan belakang sekitar lokasi pekuburan tersebut. Di sebelah utara lokasi pemakaman umum tersebut, terdapat pemukiman warga yaitu RW V kelurahan Suangga. Di sebelah selatannya ada pemukiman warga kelurahan Lembo. Dan di bagian baratnya, jika dilihat dari arah jalan masuk pemakaman, ada pemukiman warga yang tampak begitu ramai oleh lalu lalang warga.

Perlahan saya pun melangkah menyusuri jalan setapak yang berada di tengah-tengah lokasi pemakaman, membentang bag membelah dua area pemakaman. Sebelum memasuki daerah tersebut, sangat minim informasi yang saya ketahui tentang kelurahan Lembo, yang letaknya di sebelah barat pemakaman tersebut. Saya hanya mendapat gambaran tentang situasi daerah tersebut dari ibu ketua RW V kelurahan Suangga. Ia beberapa kali berpesan pada saya untuk hati-hati ketika masuk ke daerah tersebut. Jangan bawa duit yang banyak kesana, juga kalau bawa hand phone jangan di pegang di tangan pada saat jalan karena biasa ada orang yang dirampok dan dirampas hand phonnya saat melintasi jalan menuju Lembo.

Terbersik di kepala, saya akan memasuki kawasan penduduk dengan orang-orang yang tidak ramah di dalamnya.Akan mendapat tatapan mata yang tajam saat berpapasan atau bertemu dengan orang-orang. Jalan setapak yang membelah dua area pemakaman sudah saya lewati. Di ujung jalan setapak, saya tiba-tiba bingung harus menuju kearah mana, sebab di depan saya ada persimpangan tiga jalan setapak. Arah mana yang harus saya susuri untuk sampai ke lokasi Rt B Rw V kelurahan Lembo? Kemudian saya pun memutuskan untuk bertanya pada ibu-ibu yang sementara tampak asyik bergosip di samping warung dengan beberapa jualan makanan berderet mengisi warung tersebut, hanya berjarak kurang lebih tiga meter dari area pemakaman Panampu.

Saya pun tersenyum kepada seorang ibu yang sementara duduk di samping warung tersebut. Kemudian menyambung senyuman itu dengan sebuah pertanyaan 'boleh tanya, rumaha pak kala ketua Rt B, Rw V Lembo dimana Bu? Tak disangka, ibu itupun kemudian membalas senyumanku dengan sebuah senyuman bersahabat pula dan kemudian membantu menunjukan arah jalan menuju rumah pak kala. Sayapun melanjutkan perjalanan mencari rumah pak kala. Tiba-tiba saja, ada seorang lelaki naik sepede menghampiri dari arah belakang. Menyapaku dan langsung bertanya “cari ketua Rt B ya Pak”? Saya pun menjawab “iya Pak”. Langsung saja ia memperkenalkan diri, kalau dia adalah orang yang saya cari, ketua Rt B Rw V yang menjadi wilcah ke dua penelitian kami.

Ternyata pak Kala dari tadi memperhatikan saya sejak berjalan sekitar 10 meter dari rumah pak Rw V Suangga yang jaraknya sekitar 500 m dari lokasi tempat tinggalnya. Dia juga mengikuti saya dari belakang. Saat ia melihat saya bertanya pada warga, pak kala pun kemudian menduga-duga kalau saya adalah petugas pendata yang akan meneliti di Rt B yang dipimpinnya, sebab malam sebelumnya, mbak Fita (supervisor kami) telah datang ke rumahnya untuk mengkonfirmasikan kalau saja besok siang akan ada anggotanya yang akan datang untuk melakukan wawancara dengan beberapa orang warga, beliaupun mempersilahkan kami untuk memulai kegiatan wawancara sekitar pukul 2 siang, karena sekitar jam 1 siang, ia sudah pulang kerja. Lebih cepat dari hari-hari sebelumnya.

Namun karena sudah jam 2 siang, belum juga muncul pendata di lokasi Rt'nya, iapun berinisiatif untuk datang ke rumah ketua Rw V Suangga yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahnya. Namun lucunya, pak kala tidak sampai ke rumah pak Rw yang kebutulan menjadi base camp kami. Dia hanya berdiri di pos ronda pemakaman yang jaraknya sekitar 100 m dari base camp kami, sambil memperhatikan rumah pak Rw, menunggu datangnya petugas pendata. Itulah sedikit cerita awal perkenalan saya dengan pak kala, ketua Rt B, Rw V kelurahan Lembo.
Kehidupan keluarga pak Kala begitu sederhana. Rumahnya hanya berukuran 4 x 6 meter persegi, yang dihuni oleh 6 orang anggota rumah tangga.Hanya memiliki satu ranjang besar, yang bisa ditempati tiga orang. Sedangkan sebagian anggota keluarga yang lainnya, melantai pada saat tidur, dengan beralaskan sebuah tikar rotan.

Dibalik kesederhanan keluarga pak Kala, tersimpan segudang cinta disana. Nuansa cinta tersebut dapat saya rasakan dengan keramahan istri beliau dan sambutan anak-anak mereka. Selama dua hari berada di Rt B untuk melakukan wawancara, anak pak Kala yang bernama Asbar sangat setia menemaniku untuk keliling mendatangi rumah warga untuk wawancara. Ia pun langsung akrab dengan saya, bahkan dia langsung menganggap saya sebagai kakaknya. Setelah pendataan di lokasi Rt B selesai, bahkan Asbar sempat berniat untuk ikut ke Tana Toraja, untuk bantu-bantu penelitian kamiwalaupun tidak dibayar. Namun karena ia sementara sekoloh di STM, saya pun menyarankan kepadanya untuk fokus pada sekolahnya dulu.
Rt B, Rw V Lembo adalah sebuah pemukiman padat penduduk. Hampir tidak ada spasi antara satu rumah dengan lainnya kecuali jalan setapak dengan lebar 1 meter. Lingkungan Rt ini pun tampak bersih dan terawat. Paling sedikit 2 kali sebulan, warga bahu membahu kerja bakti untuk membersihkan lingkungan tempat tinggal mereka. Terutama bagian halaman depan rumah, selokan dan jalan setapak.

Mobilitas penduduk di malam hari pun masih ramai oleh warga. Sebab sebagian warga mereka ada yang bekerja di malam hari. Terutama yang bekerja di sekitaran daerah pelabuhan Soekarno Hatta makassar. Ada juga sebagian warga yang baru pulang kerja di malam hari. Antara sekitar pukul 10 – 12 malam. Kebetulan juga, lokasi Rt pak Kala berada sedikit di bagian depan, dan masih ada banyak rumah warga yang sudah tidak termasuk bagian dari lingkungan Rt mereka. Jalan setapak depan rumah pak Kala adalah jalan utama yang menghubungkan lokasi pemakaman Panampu dengan pemukiman warga di bagian belakang.
Kenang-kenangan yang masih tersimpan saat bersama pak Kala adalah sebuah korek gas yang diberikannya padaku, disertai satu bungkus rokok sampoerna kecil isi dua belas batang, pada saat saya silaturahmi dan bercanda gurau di rumahnya, saat semua kegiatan wawancara di Rt tersebut selesai.

Saat memberi korek gas tersebut, pak Kala berpesan “kalau gas yang ada pada korek itu telah habis d an atau rusak, kenangan serta pengalaman selama dua hari bersama dia dan keluarganya yang sangat singkat itu jangan ikut terbuang dan hilang. Beliaupun bilang kalau pintu rumahnya akan senantiasa terbuka untuk dikunjungi. Katanya sambil tersenyum dingin.
Panampu, 19 Sept 08

Rabu, 17 Desember 2008

Sungai Sadang


Dari rumah pak Thomas, ketua RW Pora I kelurahan Tampo, dikeheningan malam, terdengar jelas suara arus sungai mengalir, menghempas terpecah oleh bebatuan kali. Dari teras bagian belakang rumahnya, saya bisa menyaksikan keindahan aliran sungai sadang. Wilayah ini bernama Rt Randanan. Kata “randanan” dalam bahasa Toraja artinya adalah pinggir sungai.

Sungai sadang menjadi penghubung tiga daerah yaitu Toraja, Enrekang dan Pinrang. Induk sungai sadang ada di kelurahan Pangala Toraja dan bermuara di jembatan Lasape perairan Pinrang. Tidak hanya menghubungkan tiga daerah tersebut, sungai ini pun diabadikan sebagai nama sebuah jalan di kota Makassar yaitu jalan Sungai Sadang. Jalan ini pun menghubungkan tiga jalan utama yaitu jalan AP. Pettarani, jalan Veteran dan jalan Ratulangi.

Jika dilihat secara sepintas dari arah jalan kecil di atas kampung, jika melihat ke bawah, tidak ada sedikit pun ada tanda kalau di bagian bawah jalan itu, yang kira-kira jaraknya sekitar 300 m, ada rumah penduduk yang dihuni sekitar 19 Kepala Keluarga. Pohon-pohon bambu dan tanaman coklat serta kopi dan beberapa pohon besar lainnya menutupi rumah-rumah penduduk tersebut.

Ketika menyusuri jalan tersebut, melewati tanaman kopi dan coklat warga, maka akan dijumpai rumah-rumah warga yang jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya sekitar 10 - 20 m. sebuah perkampungan penduduk yang tersembunyi oleh pohon bambu, cokelat, kopi dan beberapa pohon besar lainnya. Lokasi Rt Randanan begitu asri dan natural. Diapit oleh bukit dan sungai Sadang.

Ada sejumlah warga yang menjadikan sungai sadang sebagai tempat menjaring ikan. Pak Baba misalnya, dua kali dalam seminggu, ia biasa ke kali sungai sadang untuk menjala ikan. Dari penuturan beliau, ia biasa turun ke kali sekitar pukul 11 malam. Setelah menaburkan beberapa umpan untuk makanan ikan, ia tidak langsung menjalanya. Harus menunggu 1 – 2 jam baru ikan-ikan yang sudah diberi umpan tadi kemudian dijala. Hasil tangkapannya lumayan, setiap kali ia pulang dari menjala, tungku dapurnya selalu berasap sembari menebar aroma ikan hasil tangkapan dari sungai sadang.
Di tempat lain di Toraja, kita pun bisa malihat sungai Sadang. Namun pemandangan yang terlihat dari arah kampung Pora I Rt Randanan, penampakannya sangat berbeda. Sungai Sadang jadi begitu sangat eksotis, berlikuk dan tampak begitu gagah membelah bukii dan perkampungan penduduk.
Toraja, 30 Sept 2008

Minggu, 14 Desember 2008

peNgaLaman seLama Survei di Makassar & Toraja

Hampir 1 bulan saya melakukan survei/pendataan sosial ekonomi rumah tangga indonesia (Suseti) yang dilakukan di kota Makassar & Kabupaten Tana Toraja. ada banyak cerita dan pengalaman yang sangat berkesan selama berada di lokasi penelitian. saya akan menuliskan beberapa cerita atau pengalaman menarik yang saya alami selama di lokasi penelitian tersebut.

Mungkin saja bagi orang lain cerita tersebut tidak begitu menarik, tapi bagi saya pengalaman tersebut begitu mengesankan...