Kamis, 10 September 2009

Diskusi Buton Raya di Facebook


Belakangan ini, setiap saya mengakses facebook, saya selalu mengikuti perkembangan diskusi di group-group yang berkaitan dengan Buton, terutama di group komunitas Buton Raya. Tema pembicaraan tentang buton raya memang cukup menarik dan harus menjadi pembicaraan yang masif sehingga dapat menjadi konsumsi publik. saya termasuk orang yang menaruh harap dengan terbentuknya Buton Raya, namun tidak berada pada posisi fanatik bahwa propinsi baru harus terbentuk sebagai wadah yang mempersatukan kekuatan kembali Buton dimasa lalu.

Dari beberapa group di fecabook terkait dengan Buton yang saya ikuti, saya mengamati ada banyak asumsi maupun argumen yang berpangkal pada kejayaan serta nama besar Kerajaan/kesultanan Buton di masa lalu yang berusaha ditarik ke masa kini (walaupun tidak menjadi wacana dominan), diramu sedemikian rupa agar dapat menjadi ingatan kolektif yang bisa merekatkan masyarakat kita. strategi demikian cukup efektif untuk membangun kekuatan bersama, namun saya masih sedikit meragukan kalau itu menjadi kebutuhan dasar masyarakat kita saat ini?

Saya agak sependapat dengan pendapat Prof Susanto zuhdi yang menganggap bahwa Buton adalah sejarah yang terabaikan dalam peta sejarah dan kebudayaan Indonesia. ditambah memang sejarah selalu dilihat dari tafsir budaya-budaya dominan, khususnya di bagian timur indonesia, sejarah sangat dipengaruhi oleh tafsir dari Gowa dan Ternate. beberapa fakta tersebut sangat mengusik saya sebagai orang buton. mengapa Buton menjadi sejarah yang terkalahkan'? beberapa peristiwa silam seperti begitu mudahnya Kesultanan Buton bergabung dengan NKRI, kisah pilu Bupati Kasim dan cap PKI atas daerah kita yang berdampak pada hilangnya satu generasi yang coba dibangun fondasinya oleh beliau, tidak terpilihnya Bau-Bau sebagai ibukota Sultra yang sebelumnya menjadi ibukota Kabupaten Sulawesi Tenggara, dan konon saat ini ada rumor yang berkembang bahwa ada sejumlah skenario yang berusaha menyingkirkan kekuatan Buton dalam ranah politik di Sultra oleh sejumlah kelompok (ini masih asumsi).

Masih menyimpan segudang tanya bagi saya, kehadiran propinsi Buton Raya nantinya dapat membuat sejarah Buton tidak terpinggirkan lagi? Saya tertarik dengan pertanyaan yang diajukan oleh Bung Alfin dalam salah satu topic diskusi pada group komunitas Buton Raya tentang pra dan pasca pemekaran buton raya, katanya apakah saat ini kita kalah dalam percaturan permainan di Sultra? Juga tertarik oleh jawaban bung Yudi yang menganggap bahwa pembentukan Buton Raya bukan karena atas dasar kalahnya kita bersaing dengan daerah lain, namun karena alasan sejarah dan budaya yang sudah terbangun sejak masa silam.

Dari sejumlah pendekatan untuk mengkaji fenomena pemekaran wilayah, pendekatan structural bisa dijadikan perspektif untuk meneropong dan memahami isu pemekaran. Pendekatan structural itu umumnya ada dua yaitu; adanya sumber daya yang cukup seksi untuk diperebutkan, dan adanya Strong men yang mempunyai kekuatan/relasi cukup baik dipusat namun sudah tidak punya ruang lagi untuk bermain disana dan mencari ruang baru di daerah agar tetap eksis dalam panggung politik. Salah satu contoh pemekaran daerah dengan analisis structural ini bisa dijumpai pada kasus pemekaran propinsi Sulbar dari Sulsel dengan hadirnya kekuatan Adwar adnan saleh sebagai strong men yang punya relasi kuat di pusat dan akhirnya menjadi kepala daerah di propinsi baru yang dimekarkan tersebut.

Nah bagimana dengan kasus Buton raya? Adakah sumber daya yang cukup seksi untuk diperebutkan sebagai lahan perebutan bisnis? Adakah sosok strong men itu?

Kasus Buton Raya mungkin agak berbeda halnya dengan yang terjadi di Sulbar, mengingat bahwa wacana pemekaran buton raya saat ini lebih dominan dimainkan oleh elit politik local yang dimotori oleh kepala daerah yang berusaha memaksimalkan jejaring social dan politik mereka yang ada di pusat untuk mendorong pembentukan propinsi baru.

Dalam pengamatan saya, sampai saat ini praktis belum muncul seorang figure yang mempunyai relasi kuat di Jakarta dan ingin mencari ruang baru di daerah. Beberapa figure seperti Masihu Kamaludin atau Jeni Hasmar tidak tampil pada garda terdepan dalam perjuangan pemekaran. Strong men tersebut lebih diperankan oleh elit politik local (Bupati/walikota) yang sementara ini menjabat.

Kendali pemekaran Buton Raya saat ini berada di pusat. Dalam kondisi seperti itu membuka peluang yang sangat terbuka bagi mereka yang mempunyai relasi dan sejumlah capital terkait lobi dan negosiasi terwujudnya sebuah pemekaran. Hal lain yang menurut saya agak dilupakan dalam diskusi-diskusi tentang pemekaran adalah kekuatan militer terkait masalah teritorial. Salah satu masalah yang sering muncul terkait dengan pemekaran adalah masalah penentuan ibukota. Persoalan penentuan ibukota terkadang dengan tidak sengaja akan menarik kekuatan militer masuk kedalam, apalagi persoalan teritori memang bagian dari wilayah yang diurusinya. Namun lebih jauh, masalah teritori bukan hanya sebatas penentuan ibukota saja, sejalan dengan itu terkait juga dengan pengaturan dan pembagian lahan bisnis baru bagi militer. Apalagi mengingat militer mempunyai kekuatan yang sangat kuat dan cukup solid sampai ke tingkat daerah dan masih belum bisa melepaskan diri dari dunia bisnis yang menjadi sumber lain untuk pendapatan mereka. Jika elit politik lokal kecolongan, militer bisa lebih jauh masuk dan bahkan mengambil alih proyek pemekaran yang diperjuangkan oleh mereka.

Untuk kasus Buton Raya, bagi saya yang terpenting adalah diadakannya rekonsiliasi antara pulau yang tergabung didalamnya, sebab Buton Raya merupakan daerah dengan banyak pulau yang rentan dengan potensi konflik, apalagi jika merunut ke sejarah, peradaban daerah ini dibangun tidak hanya oleh komunitas local disaat itu, namun sangat dipengaruhi juga oleh sejumlah kekuatan kelompok migran yang merantau baik dengan sengaja maupun tidak sengaja berlayar dan akhirnya menetap di jazirah tenggara Indonesia. Salah satu kutukan untuk daerah yang banyak mempunyai sumber daya adalah konflik. Ini bisa dijumpai pada beberapa daerah di Indonesia misalnya Irian atau Maluku(*)





Sabtu, 05 September 2009

Obrolan Sore Yang Aneh

Sudah dua hari ini saya buku puasa di mace kantin fisip Uh. Suasana yang selalu saya rindukan ngumpul bersama teman-teman di kampus waktu kuliah dulu. Namun sekarang saya mendapatkan situasi yang sangat berbeda dengan beberapa tahun lalu, tempat itu selalu rame ditongkrongi oleh anak-anak sospol dan juga beberapa alumni yang masih sering masuk kampus dan kadang juga beberapa dosen yang biasa bergaul dengan mahasiswa. Saya tidak menjumpai lagi orang-orang yang biasa asyik bermain domino disana. Di kantin fisip pada sore hari begitu sepi, hanya ada beberapa orang saja yang duduk asyik internetan tampa saling tegur sapa. Kantin fisip menjadi sedikit rame jika waktu berbuka puasa sudah dekat, itupun yang meramaikannya adalah mahasiswa komunikasi saja. Bersama beberapa orang kawan saya menghabiskan sore di kantin sambil bercerita ngawur ngidul menungggu waktu berbuka tiba.

Sore tadi suasananya hampir tak jauh berbeda dengan kemarin. Waktu menunggu berbuka diisi dengan banyak obrolan apa saja, diskusinya tidak fokus dan melebar kemana-mana mulai dari gosip krisdayanti yang ditalak oleh anang, cerita pengalaman senior-senior Fisip yang mencoba bertahan hidup di jakarta, obrolan singkat tentang lembaga kajian lipstik di Fisip yang pernah di ketuai teman saya dahlan sampai pada pembicaraan masa depan.

Obrolan tadi sore dengan beberapa teman tiba-tiba mengganggu tidurku malam ini. Tema obrolan yang mengganggu itu adalah seputar orientasi hidup dan pekerjaan di masa depan. Saat ini saya sementara berusaha untuk fokus melanjutkan study paskasarjana di Ugm walaupun harus dengan susah payah mencari duit untuk membayar biaya SPP dan sewa kost di Jogja. Larut dalam pembicaraan, saya pun curhat kepada mereka kalau saja saat ini saya bingung untuk mencari duit guna membeli beberapa buku sebagai literatur belajar dan biaya bulanan selama hidup di Jogja. Tiba-tiba ada seorang teman yang memberikan saran bagaimana cara untuk bisa membiayai pendidikan selama sekolah (mohon maaf, caranya tidak bisa saya jelaskan disini).

Awalnya saya tak menggubris saran tersebut, bahkan saya menganggap itu sebagai sebuah lelucon, namun setelah saya kembali ke pondokan, kamar teman tempat saya menginap, tiba-tiba pembicaraan tadi sore di kantin melintas dan langsung mengisi ruang-ruang berpikirku. Saya pun gelisah sampai-sampai tak bisa tidur karena memikirkannya terus. Pembicaraan tentang masa depan memang selalu jadi topic menarik dan tak ada matinya. Manusia senantiasa membangun mimpi-mimpi untuk dapat hidup lebih baik, berharap pula dapat menghabiskan masa tua dengan nyaman dan damai. Sampai catatan ini selesai saya tulis, pikiranku masih terganggu oleh pembicaraan di sore tadi.
Tamalanrea, 04 sept, pukul 03:25