Rabu, 13 November 2013

Apa Kabar Blog ?

Apa kabar 'blog' ? Ya, kira-kira itu kalimat tanya yang cukup pas untuk menggambarkan isi tulisan dalam blog saya. Hampir tiga bulan tak ada tulisan baru yang diposting pada blog ini. Walau cukup lama tak menyambangi blog ini, bukan berarti saya tak pernah menulis dalam kurun waktu tersebut ya. Hanya saja, entah karena alasan apa saya tak pernah membuat tulisan lagi untuk mengisi blog ini, padahal selama beberapa waktu ini saya terbilang cukup sering membuat catatan dan membuat beberapa laporan riset serta beberapa usulan proposal penelitian.

Hemm, saya memang masih jadi seorang pemalas. Masih susah untuk membiasakan diri akrab dengan blog. Blog belum bisa menjadi sahabat saya, padahal saya ingin sekali menjadikannya sahabat. Saya sangat tahu, jika ingin menjadi sahabat blog, paling tidak saya mesti sering-sering mengunjunginya dan berbagai sesuatu dengannya. Namun sepertinya pengetahuan itu belum mewujud dalam tindakan yang lebih konkrit yaitu dengan sesering mungkin menulis agar keinginan untuk mengakrabkan diri dengan blog bisa terwujud.



Kamis, 22 Agustus 2013

Saya, Andan & Mr.Nic

Dunia riset adalah dunia yang penuh tantangan namun menawarkan berbagai hal baru dalam jagat pengetahuan. Bagi pemula seperti saya, menggeluti kerjaan di dunia riset sebagai peneliti lepas khususnya pada riset sosial, sejarah dan budaya adalah  kerjaan yang menantang sekaligus menyenangkan. Melalui riset, saya dapat belajar berbagai hal sekaligus melatih kepekaan atas berbagai fenomena yang saya jumpai di tengah masyarakat. 

Dunia riset adalah sebuah ruang bebas yang menuntun para peneliti untuk menemukan serta menggali berbagai fenomena unik dan menarik dalam sebuah setting masyarakat. Saya sebenarnya malu melabeli diri saya dengan sebutan peneliti. Tapi ya, inilah jalan hidup yang saya pilih saat ini. Sebelumnya, setelah meraih gelar master di salah satu kampus di Yogyakarta, saya lalu pulang ke kampng halaman di Kota Baubau. Selama kurang lebih  empat bulan (satu semester) saya mengisi waktu di kota ini sebagai dosen luar biasa di salah satu Universitas. Saya bekerja pada jJrusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan mengajar mata kuliah perencanaan kota/daerah. Sebuah mata kuliah yang sebenarnya tidak saya kuasai dan parahnya tidak menarik bagi saya, tapi karena kebijakan pimpinan jurusan yang menugaskan untuk mengajar mata kuliah tersebut, dengan nada yang cukup terpaksa saya kemudian menjalaninya. Meskipun pada perjalanannya kemudian, seiring berjalannya waktu melalui berbagai proses dan interaksi di ruang perkuliahan dengan mahasiswa, saya akhirnya belajar beberapa hal baru tentang ilmu perencanaan kota/daerah. 

Saya lalu sadar bahwa sesuatu yang tidak kita sukai bisa berubah menjadi sesuatu yang disukai karena berbagai alasan. Salah satu caranya adalah dengan berusaha mencari serta menemukan sisi lain dari sesuatu yang tidak kita sukai karena bisa jadi, kita hanya mampu melihat beberapa sisi saja sehingga membuat pandangan kita terbatasi untuk melihat sisi lain yang bisa jadi akan menarik. Sekalipun sangat singkat, pengalaman mengajar satu semester di kampus bagi saya cukup memberi banyak pelajaran. Hikmah terbaik yang saya petik adalah kita tidak boleh berhenti untuk mencari tahu berbagai hal baru sekalipun itu tidak menarik. Kini saya memilih untuk meninggalkan kampus tempat saya mengajar dengan harapan bisa menemukan hal lain di luar sana dan mencoba tantangan lain.

Seminggu sebelum puasa, saya ke Makassar untuk sebuah pekerjaan. Saya terlibat dalam sebuah penelitian tentang  pemetaan organisasi kepemudaan di Kota Makassar yang dibiayai Kementrian Pemuda dan Olah Raga dengan seorang dosen Unhas dan salah satu lembaga studi di Makassar. Singkat cerita, setelah mempersiapkan desain riset, saya ke Jakarta bersama seorang dosen Unhas untuk mempersentasikan rencana riset kami di salah satu divisi di Kemenpora RI.  Setelah kerjaan persentasi itu selesai, saya  tidak langsung balik ke Makassar. Saya sengaja tinggal beberapa hari di Jakarta untuk bertemu seorang kawan yang sebelumnya pernah menghubungi saya dan menceritakan bahwa dia punya teman peneliti dari Amerika yang akan penelitian tentang Korea di Kota Baubau. Kawan tersebut menghubungi saya karena sasuatu yang temannya ingin teliti punya sedikit kaitan dengan tema yang saya teliti sabagai bahan tesis saya untuk meraih gelar master di Sosiologi UGM 2012 lalu. 

Kawan saya itu bernama Mirwan Andan. Saya memanggilnya kak Andan. Awalnya saya agak kaget saat ia menghubungi saya sebab sejak tahun 2005 saya tak pernah lagi melihatnya di kampus Unhas. Ternyata dia menghubungi saya setelah mengobrol dengan seorang kawan (Guntur) yang juga satu kampus dengannya. Kak Andan dulunya adalah mahasiswa Sastra Prancis  Unhas namun memilih untuk meninggalkan kampus tersebut dan hijrah ke Jakarta dan menyelesaikan studinya di salah satu kampus negeri di kota itu. Sekalipun waktu di Unhas kami berbeda fakultas dan terpaut beberapa tahun, namum kami sering terlibat diskusi seputar film dan sastra saat bermahasiswa ria di Unhas beberapa tahun lalu. Saya masih ingat, di tahun 2004 beberapa kali kelompok diskusi yang saya geluti bersama teman-teman di Sospol mengadakan diskusi film di koridor Fisip Unhas dan mengajak kak Andan untuk mendiskusikan film tersebut dan berbagi pandangan serta pengetahuan terkait film yang kami tonton.

Saya lalu janjian ketemu dengan kak Andan di Jakarta untuk membahas rencana riset temannya itu di Baubau. Saat bertemu di Jakarta, meminta saya untuk menjelaskan beberapa hal yang menjadi point penting dalam tesis saya. Rupanya, beberapa penjelasan singkat itu sudah cukup menjadi referensi bagi kak Andan untuk mengajak saya bersama dia untuk mendampingi seorang antropolog asal Amerika selama melakukan penelitian di Baubau nantinya. Tentunya saya tak butuh waktu lama untuk menyatakan kesediaan membantu apalagi penelitian itu rencananya dilakukan sehari setelah lebaran Idul Fitri. Ya, begitulah kira-kira pengantar cerita tentang pertemuan saya dengan kak Andan hingga saya diperkenalkan dengan kawannya seorang antropolog dari Universitas Harvard Amerika.

Beberapa hari yang lalu, kurang lebih lima hari lamanya dari tanggal 9 – 13, disaat orang-orang masih larut dalam suka cita merayakan Idul Fitri, saya malah sibuk menemani seorang antropolog dari Universitas Harvard Amerika untuk meneliti sebuah komunitas masyarakat di Kota Baubau dan Kabupaten Buton. Peneliti tersebut bernama Nicholas Harkness yang kemudian akrab saya sapa Mr.Nic karena nama itu yang ia sebut saat saya pertama kali berkenalan dengannya. Ia seorang Assistant Professor di Jurusan Antropologi Universitas Harvard Amerika Serikat. Ia satu dari sedikit orang yang ahli tentang kajian Korea di kampusnya mengajar. Dalam 10 tahun terakhir, ia fokus meneliti dan mendalami berbagai hal yang terkait dengan Korea. Yang menjadi bidang kepakarannya adalah kajian kebudayaan, religion (kepercayaan) dan suara manusia. Sejak 2004, Mr.Nic mulai belajar dan mendalami bahasa Korea.

Sepengetahuan saya, hingga saat ini tidak banyak orang Buton maupun peneliti asing yang meneliti dan menulis tentang proyek Korea –Cia-Cia yang diprakarsai oleh yayasan Hunminjeongeum Korea dengan pihak pemerintah Kota Baubau saat Amirul Tamim menjabat sebagai Walikota Baubau pada 2009 silam. Minimnya riset dan publikasi ilmiah terkait proyek tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi para peneliti yang hendak mendalami relasi Korea dengan Cia-Cia di Baubau. Kondisi itulah yang membuat saya menjadi cukup penting bagi prof.Nic dalam hal mengumpulkan berbagai informasi dan perkembangan terkait proyek Korea – Cia-Cia. Saya lalu berbagi informasi dan pengetahuan tentang sejumlah temuan saat melakukan penelitian di lapangan termasuk menegaskan beberapa hal yang menjadi argumentasi pokok tulisan dan kesimpulan dalam tesis saya. Tentu saja, saya juga memanfaatkan kesempatan untuk menggali berbagai hal yang diketahui Mr.Nic tentang perkembangan proyek tersebut di Korea Selatan dan bagaimana pandangannya sebagai antropolog yang mendalami studi-studi tentang Korea.  Makin lama diskusi kami makin dalam dan berkembang.

Sayangnya, saya tak punya kemampuan berbahasa Inggris dengan baik. Saya tak menguasai banyak kosa kata dalam bahasa inggris. Keterbatasan bahasa itulah yang menjadi kendala saya untuk berdiskusi banyak hal secara langsung dengan mr.Nic. Selama menemaninya, saat mengobrol dan diskusi, kak Andan selalu membantu menerjemahkan apa yang saya ucapkan dan begitu pula apa yang diucapkan Mr.Nic. Meskipun kadang-kadang saat ia berbicara, saya bisa menerka-nerka maksud dari ucapannya, namun untuk menghindari penafsiran yang keliru, saya selalu meminta kak Andan untuk membantu menerjemahkannya. Uniknya, posisi kak Andan tidak semata hanya sebagai penerjemah. Dia juga adalah seorang peneliti dan  punya cukup pengetahuan tentang seni kontemporer dan budaya di masyarakat Korea Selatan, apalagi dia sudah dua kali bertandang ke negeri tirai bambu tersebut. Jadilah diskusi kami selalu bersifat tiga arah.
Dari kiri ke kana: Nicholas, Saya & Andan

Yang saya kagum dari sosok Nic adalah kerendahannya untuk mendengarkan gagasan orang lain dan mengapresiasinya. Ia sama sekali tak menunjukan arogansi intelektualnya sebagai seorang professor. Ia malah meminta saya untuk tidak memanggilnya dengan sapaan prof dan lebih senang dipanggil Nic saja. Namun ditengah kerendahannya, dalam usianya yang belum lebih 36 tahun, saya membaca kedalaman pengetahuan yang bersemayam dalam kepalanya diusianya yang terbilang sangat muda bagi seorang profesor. Di negeri ini, para professor identik dengan sosok orang tua dengan tampang berwibawa dan seringkali angkuh atas pengetahuan yang dimilikinya. Para professor di negeri ini seringkali tersinggung bahkan marah jika namanya dipanggil tanpa mengikutsertakan gelar profesornya sekalipun minim karya ilmiah yang dihasilkannya.

Interaksi saya dengan Mr.Nic memang sangat singkat. Meskipun singkat, waktu lima hari menemaninya selama berada di Pulau Buton meninggalkan sejumlah kesan dan pengalaman penting bagi saya terutama dalam hal metodologi riset. Ia dengan teliti menyiapkan berbagai hal pendukung sebelum terun riset ke lapangan. Dan saat malam setelah kembali ke hotel tempat menginap, Mr.Nic selalu mengajak saya dan kak Andan untuk mendiskusikan berbagai hal yang dia temukan di lapangan. Ia juga rajin mencatat hal-hal yang menurutnya unik, menarik dan penting dari obrolan kami. Setidaknya, apa yang dikerjakan Nic selama melakukan penelitian di Pulau Buton memberi tambahan wawasan bagi saya. Sekalipun Nic sering berkelakar bahwa ia lebih senang dianggap sebagai turis yang sedang berkunjung dan liburan di Pulau Buton ketimbang dianggap sebagai peneliti yang sedang mengumpulkan berbagai informasi dan data terkait perkembangan proyek Korea – Cia-Cia yang ditelitinya.

Pengalaman bersama kak Andan dan Mr.Nic selama berada di Pulau Buton bagi saya penting untuk dikisahkan dalam tulisan ini meskipun tidak banyak hal yang bisa saya rekam lewat tulisan ini tentunya. Saya berharap interaksi kami tidak terputus hanya saat mereka berada di Pulau Buton. Suatu saat, ketika saya menghubungi Mr.Nic lewat email untuk sekedar menyapa dan menanyakan kabar, saya berharap ia mau membalasnya. Sekalipun bagi saya, jika ia tak mengingat saya, itu bukan soal dan saya tak akan kesal karena itu..hehe..
Baubau, 17-08-13

Rabu, 12 Juni 2013

Catatan Pinggir di Kampus Unidayan

Tiap kali menginjakan kaki di dalam kampus, saya selalu merasakan adanya denyut nadi pengetahuan yang terus hidup dalam tiap tubuh manusia yang berseliweran di dalamnya dengan beragam aktivitas. Saya sering membayangkan betapa merdekanya manusia-manusia yang hari-harinya bersahabat dengan dunia kampus. Mereka yang terus menempah pengetahuan dengan berbagai bacaan dan forum-forum diskusi.

Sudah tiga bulan lebih saya menjalani sebagian hari-hariku di kampus Unidayan Baubau. Ya, sekarang saya mengajar di jurusan Sosiologi Fisip Unidayan dengan status sebagai dosen luar biasa (LB). Pilihan yang awalnya cukup sulit saya ambil karena harus memulai segalanya dari awal. Saya harus jujur mengatakan bahwa saya harus memulai proses beradaptasi kembali di Baubau kota kelahiran saya. Betapa tidak, kira-kira 10 tahun lebih saya menghabiskan waktu di perantauan. Tujuh tahun bermukim di Kota Makassar sejak tahun 2002 sampai tahun 2009 (6 tahun kuliah dan setahun wara wiri tak jelas). Kemudian tiga tahun di Jogja untuk melanjutkan studi di pascasarjana Sosiologi UGM. Setelah menuntaskan studi di Jogja, saya masih wara wiri kembali di Kota Makassar sekitar dua bulan lamanya.

Sejak bulan Februari kemarin saya memutuskan untuk menetap di Baubau dan memilih kampus Unidayan sebagai tempat belajar dan berbagi sesuatu pengetahuan dengan beberapa mahasiswa yang mengambil mata kuliah saya. Di minggu-minggu pertama mulai mengajar, saya tak punya banyak teman di kampus ini. Hanya beberapa kerabat dosen dan mahasiswa Unidayan angkatan lama yang saya kenal di luar kampus.

Untungnya, di Baubau saya punya beberapa sahabat di komunitas Respect (lembaga yang kami dirikan 5 tahun lalu sebagai ruang koja-koja bagi alumni Makassar) yang punya banyak waktu untuk menjadi teman ngobrol dan berbagi pengetahuan. Para sahabat dan kerabat yang tak banyak itulah yang kini menguatkan niat saya untuk menetap di Kota Baubau dengan kerjaan baru sebagai dosen luar biasa di sebuah perguruan tinggi swasta yang terus berbenah memperbaiki kualitas pendidikan di kota ini.

Ya, semoga saya bisa cepat beradaptasi dengan situasi baru sembari belajar tentang makna hidup, terus menempah diri dalam jagad pengetahuan di tiap sudut-sudut kampus Unidayan.


Higado, Baubau 11 Juni 2013.

Gagal Terbang

Ini adalah cerita tentang perjalanan yang gagal. Teledor, tidak bisa mengatur waktu sesuai agenda yang sudah terjadwal adalah bagian dari kebiasaan aneh (untuk tidak mengatakannya kebiasaan buruk) yang ada pada diri saya.

Kemarin , tepatnya hari kamis pagi, sekitar pukul tujuh lebih sedikit waktu Baubau, saya memutuskan untuk ke Makassar. Sekitar pukul Sembilan pagi saya menuju travel penjualan tiket pesawat untuk memesan tiket penerbangan Baubau tujuan Makassar. Beruntung, saya masih mendapatkan satu seat kosong terakhir  untuk rute penerbangan tersebut dengan jadwal penerbangan pukul 11.50 Wita (boarding 11.20 Wita).

Jika dirunut kronologisnya, selang waktu setelah membeli tiket dengan jadwal penerbangan terpaut kurang lebih dua jam. Setelah membeli tiket di sebuah travel dekat masjid raya Baubau, saya langsung pulang ke rumah lalu mulai mempersiapkan pakaian dan sejumlah keperluan lainnya yang akan dibawa ke Makassar. Saat lagi mengemas-ngemas barang, ponakan saya yang berumur dua tahun lagi asyik bermain di dekat saya seraya mengajak untuk menemaninya bermain. Seolah terhipnotis oleh ajakannya, saya seketika larut dalam permainan yang dia ciptakan, kemudian asyik bermain bersamanya.

Saking asyiknya bermain, saya tak sadar kalau jam sudah menunjukan pukul 11 lewat. Terkaget, saya  langsung buru-buru mandi, kemudian makan siang. Waktu kini menunjukan pukul 11.20 Wita. Saya lalu mulai panik tak karuan. Sialnya, saat hendak keluar rumah, hujan deras seketika membasahi bumi. Ya ampunnn, kecemasan akan ditinggal pesawat mulai menyelimuti pikiran dan suhu tubuhku seketika terasa tak normal. Beruntung, ada mobil tangki  air bapa Hendra yang datang untuk mengisi air di rumah (bapa hendra tiap hari mengisi tangki mobilnya dari sumber air sumur di rumah saya) . Setelah tangki mobilnya terisi penuh, saya lalu minta tolong untuk diantar ke jalan Betoambari untuk mencari taxi atau angkutan umum arah bandara Betoambari Baubau. Sekitar lima menit berdiri dipinggir jalan dengan guyuran rintik hujan, tak ada satupun taxi dan angkot yang lewat, hanya bentor (becak motor) yang melintas. Tak mau berlama-lama menunggu, saya pun langsung menahan bentor dan minta diantar ke Bandara.

Sekitar satu kilo meter menumpang bentor, kepanikan saya makin menjadi-jadi karena bentor yang saya tumpangi melaju dengan lambat. Karena hujan perlahan mulai reda, saya pun memutuskan untuk mengganti tumpangan dengan ojek. Kesialan tak kunjung menjauh, belum cukup satu kilometer kira-kira perjalanan dengan ojek, hujan tiba-tiba mengguyur lagi dengan deras. Pengendara ojek bertanya pada saya, apa kita berteduh untuk menghindari guyuran hujan atau kita tembus saja hujan dengan risiko kebasahan? Saya meminta ojeknya untuk terus saja melaju (saya bilang ke pengendara ojek akan menambah ongkos sebagai kompensasi mengantar saat hujan) dengan cepat sekalipun hujan terus mengguyur dan jarak pandang agak terganggu dan jalanan cukup licin karena basah.

Saya pun akhirnya sampai di bandara Betoambari Baubau. Saat memasuki area parkir bandara, zzmmmmm, pesawat Lyon meluncur dari balik ruang tunggu bandara, menukik tajam seolah menembus langit. Huuffffffft, saya hanya bisa melotot memandangi pesawat yang melaju kencang terbang lalu hilang di balik awan.
Saya pun menjadi tontonan orang-orang yang berdiri di depan bandara. Saya menangkap ada kesan iba dari sorot mata orang-orang yang memandangi saya. Mungkin saja ada diantara mereka yang berujar dalam hati “kasian orang ini, sudah basah kuyup kehujanan, ditinggal pesawat lagi”.

Ya, sekalipun hari itu saya gagal terbang. Rencana untuk ke Makassar tak padam. Hanya berselang sejam, saya langsung berburu tiket karcis, eh maksudnya tiket pesawat untuk penerbangan besok karena pesawat yang harusnya saya tumpangi tadi adalah penerbangan terakhir dari bandara Betoambari Baubau. 

Baubau, 31 Mei 2013.

Kamis, 14 Maret 2013

Ekspedisi Maluku Tengah 3


Negeri Lahakaba adalah tempat yang sangat asing bagi saya. Sebelumnya saya tidak pernah mendengar dan tahu kalau ada pulau yang namanya Negeri Lahakaba di Nusantara ini. Ketidaktahuan saya adalah sesuatu yang wajar mengingat negeri ini didiami ribuan pulau.  Kabupaten Maluku Tengah sendiri terdiri dari banyak gugusan pulau-pulau kecil yang salah satu diantaranya adalah lahakaba.  Untuk menuju negeri Lahakaba, jika perjalanan ditempuh dari Ibu Kota Masohi, maka kita harus mengambil tumpangan mobil panther atau mobil kijang dan sejenisnya yang tersedia di terminal antar Kota dengan tujuan pelabuhan Tehoru di Kecamatan Tehoru.  Sewa mobil panther menuju Pelabuhan Tehoru 50 ribu perorang.  Saya pun menumpang mobil Panther. Dengan modal sok akrab dengan pak sopir, saya akhirnya bisa menumpang duduk di depan samping pak sopir. Perjalanan dari Masohi ke Pelabuhan Tehoru kurang lebih 3 jam setengah. Saya  akhirnya sampai di Pelabuhan Tehoru sekitar pukul 4 sore.

Perjalanan menuju Lahakaba dari Pelabuhan Tehoru harus ditempuh dengan menyebrangi lautan. Secara, Lahakaba merupakan pulau terpisah dari daratan pusat kecamatan Tehoru. Tak mau berlama-lama di Pelabuhan Tehoru, sore itu pun juga saya langsung bergegas mencari tumpangan Lambot (sejenis katinting, namun tidak memiliki dinding pelindung dan atap) yang siap menuju Lahakaba. Sayangnya, sore itu sudah tidak ada lambot yang mengantar langsng menuju tempat tujuan saya. Sebenarnya sih ada lambot yang dari arah pelabuhan Tehoru langsung menuju Lahakaba namun hanya beroperasi di pagi hari. Ongkos menumpang lambot ini lumayan mahal yaitu 50 ribu perkepala. di kampung saya di Buton, paling mahal ongkos penyebrangan antar pulau dengan jarak tempuh yang kurang lebih sama dari Tehoru ke Laimo paling mahal 20 ribu perorang. Mungkin sewa lambot ini agak mahal karena hanya bisa menampung penumpang  paling banyak 8 orang, sedangkan katinting di pulau Buton bisa mengangkut penumpanmg sampai 30 orang lebih.

Saat mesin Lambot dihidupkan, saya sempat cemas. Namun saya tak punya pilihan lain saat itu karena lambot jadi satu-satunya mode transportasi untuk menuju Lahakaba dari Pelabuhan Tehoru. Ya ampunn. Walhasil, semua baca-baca yang pernah diajarkan bapak saya di kampung habis saya rapal semua agar tetap selamat sampai di tujuan.
Lambot yang saya tumpangi dari pelabuhan Tehoru ke Laimo

Petualangan mengarungi lautan dengan Lambot itu luar biasa menegangkan. Di Buton, saya sudah terbiasa naik katinting menyebarng pulau. Hanya saja, katinting yang beroperasi melayani penyebarangan antar Pulau di Buton lumayan lebih besar dari lambot dan umumnya memiliki dinding dan atap pelindung dari panas dan hujan. Di atas lambot itu, kami hanya berlima termasuk dengan bapak yang mengemudikannya. Ketegangan yang menyelimuti sedikit teredam oleh pemandangan bibir pantai dan pulau-pulau yang begitu eksotik disepanjang perjalanan.
Pulau Laimo, Maluku Tengah

Sampai di Laimo, saya harus sewa ojek lagi dengan ongkos 10 ribu ke Lahakaba. Dari Laimo, ada dua desa yang dilewati sebelum sampai ke Lahakaba dengan waktu tempuh sekitar 15 menit. Dua kampung yang terlewati itu merupakan kampung nasrani. Ojek yang saya tumpangi langsung mengantar saya ke rumah bapa Raja Lahakaba. Ahirnya setelah menempuh 3 jam lebih perjalanan darat, terus dilanjutkan 1 jam perjalanan laut dengan menumpang Lambot, saya pun tiba juga di Negeri Lahakaba yang langsung disambut Azan Magrib.


Ekspedisi Maluku Tengah 2


Untuk menjangkau pulau Lahakaba, jika perjalanan dilakukan dari bandara Pattimura Ambon, kita mesti menuju ke Pelabuhan kapal Cepat Tulehu di Kota Ambon  yang bisa ditempuh kurang lebih sejam dari arah bandara.  Saat hendak bergegas menuju pelabuhan kapal cepat, saya menjumpai kendala kecil yaitu tidak adanya transportasi publik bandara yang menuju pelabuhan. Walhasil, saya harus menyewa mobil panter. Untungnya, saya bertemu dengan  seorang gadis hitam manis ala Ambon manise yang juga hendak ke Masohi. Jadilah kami patungan berdua menyewa mobil panter. Sewa mobil panter dari Bandara ke pelabuhan yaitu 125.000, itupun setelah melalui proses tawar menawar dari harga sewa sebelumnya 150.000. 

Setiba di pelabuhan Tulehu Ambon, saya pun langsung bergegas menuju loket tiket untuk membeli karcis. Saya hendak membeli karcis kelas VIP, sayangnya di loket kelas VIP sudah habis terjual, yang ada tinggal kelas Ekonomi. Harga karcis kapal cepat  untuk kelas ekonomi jika tidak salah ingat seharga 104.000 dan untuk kelas VIP seharga 150.000 untuk rute perjalanan Ambon tujuan Masohi, maluku Tengah. Kurang lebih sejam menunggu di Pelabuhan kapal cepat, sekitar pukul 10 pagi perjalanan saya lanjutkan dengan kapal cepat dari pelabuhan Ambon menuju pelabuhan Masohi, Maluku Tengah. 
Pelabuhan Amahai Masohi, Maluku Tengah

Setibaku di pelabuhan Masohi, perjalanan langsung saja saya lanjutkan ke kantor Kesbang Masohi yang terletak di dalam area sekretariat perkantoran Bupati Masohi. Dalam rencana perjalanan, ketika urusan periizinan survei bisa selesai dengan cepat, perjalanan akan saya lanjutkan langsung ke lokasi penelitian. Sayang, kepala bidang yang bertanggungjawab menandatangani izin penelitian tidak ada di kantor. Walhasil saya harus menginap di Kota Masohi karena izin penelitian baru akan kelar besok pagi.  

Karena harus menunggu besok untuk mendapatkan izin penelitian, saya memutuskan untuk menginap di salah satu wisma (saya lupa nama wismanya) yang terletak di depan terminal Kota Masohi. Jarak wisma tempat saya menginap juga tak terlalu jauh dari kantor Bupati. Ketika malam menghampiri, saya menyempatkan berkeliling melihat-lihat kota. Sayangnya saya tidak sempat berkeliling jauh di kota ini karena lumayan kecapean selama menempuh perjalanan.

Tanggal 4 Januari, pagi-pagi saya sudah bangun. Sebelum memulai bekerja, saya menyempatkan menikmati suasana pagi di Kota Masohi. Sayangnya saya tidak membawa camera saku dalam perjalanan kali ini. Saya hanya mengandalkan camera handphone yang kualitasnya jauh dari standar. Setelah puas menikmati suasana pagi, saya kembali ke wisma untuk mandi dan siap-siap ke Kantor Kesbangpol Kabupaten Masohi. Saya lalu memilih untuk berjalan kaki dari wisma tempat saya nginap menuju kantor Bupati Masohi. Perjalanan saya tempuh kurang lebih 20 menit. Lumayan, cukup membuat baju dalam saya rada lembab karena keringat. Sampai di kantor Kesbangpol, semua berkas terkait perizinan Survei di desa Lahakaba sudah rampung. 

Ada informasi menarik yang saya dapatkan dari staf yang bekerja di kantor Kesbangpol bahwa di Kabupaten Masohi, semua nama desa telah berganti menjadi negeri melalui Perda yang dikeluarkan Bupati Mahosi di tahun 2010. Pergantian nama desa menjadi negeri konon dilakukan untuk melestarikan tatanan adat yang ada di kampung-kampung. Lagian, masih menurut penuturan staf Kesbangpol, nama desa terlalu identik dengan daerah-daerah yang ada di Pulau Jawa sedangkan penyebutan negeri akan lebih tepat bagi kampung-kampung yang ada di wilayah Kabupaten Masohi. Penyebutan nama Kepala Desa juga ikut berganti, misalnya Kepala Desa Lahakaba berubah menjadi Bapa Raja Negeri Lahakaba. Waow, unik memang. Saya memandang perubahan tersebut sebagai upaya kreatif untuk merawat kearifan lokal.

Ekspedisi Maluku Tengah 1



Tahun 2013 kali ini dalam perencanaan saya akan menjadi tahun petualangan untuk menjelajahi beberapa wilayah di Indonesia. Di penghujung akhir tahun 2012 tahun lalu, saya telah membuat beberapa perencanaan untuk berkeliling ke beberapa daerah di Nusantara antara lain ke Kepulauan Maluku, Pulau Kalimantan dan Sumatra. Untuk kepulauan Maluku yang menjadi rencana jalan-jalan saya adalah Ambon dan Pulau Ternate. Sedang di Pulau Kalimantan adalah Singkawang. Dan untuk Kepulauan Sumatra yang menjadi daerah tujuan adalah Padang dan Bengkulu.

Beberapa daerah yang saya sebutkan di atas menjadi target perjalanan saya tahun ini karena beberapa alasan.  Dari dulu, saya penasaran untuk melihat bagaimana rupa kota yang menjadi tujuan favorit perantau Buton itu. Untuk Pulau Kalimantan, Singkawang saya pilih karena saya tertarik pada kota itu setelah membaca beberapa tulisan tetang orang Tionghoa di Indonesia seperti karya Aime Dawis “Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas” dan tulisan Lim Sing Meij “Ruang Sosial Baru Perempuan Tionghoa: Sebuah Kajian Pasca Kolonial”. Ulasan mereka tentang orang Tionghoa lantas memantik keingintahuan saya yang lebih besar terhadap orang Tionghoa di Singkawang. ketertarikan pada tema-tema proses pembauran dan dialektika terkait identitas keturunan Cina di Singkawang dalam kerangka menjadi Indonesia jadi alasan kuat sehingga Singkawang jadi daerah tujuan saya tahun ini.

Pulau Sumatra saya pilih karena disana saya punya beberapa teman kuliah di pasca Sosiologi UGM dulu yang mengajak untuk main ke kampung mereka. Teman saya yang berasal dari Sumatra lumayan tersebar. Ada yang di Palembang, bengkulu, Pulau Belitung, dan Aceh. Dari sekian teman-teman saya yang tersebar di Sumatra itu, saya lebih memilih untuk main ke Bengkulu karena teman saya Hamzah Fansuri yang akrab disapa Avan adalah sahabat terdekat saya saat kuliah di UGM kemarin. Tentu saja, menginjakan kaki di Pulau Sumatra tidak lengkap jika tak mampir di Padang. Kota yang menjadi pusat peradaban bangsa Minang itu.

Nah, di awal tahun, salah satu daerah yang menjadi target saya dalam menjelajahi beberapa daerah di Nusantara sebagaimana yang saya sebutkan di atas akhirnya terwujud, walaupun dengan perencanaan yang kurang matang.  Saya cukup beruntung, teman saya Misda mengajak untuk terlibat survei tentang persepsi masyarakat tentang kepemimpinan nasional , dan lokasi yang ditawarkan adalah di Kabupaten Maluku Tengah, tepatnya di desa Lahakaba. Sy tidak berpikir lama untuk menerima ajakannya. Honor yang ditawarkan untuk survei itu tidak besar. Tapi saya sama sekali tidak mempersoalkan besaran honor yang akan diterima. Yang ada di kepala saya saat itu adalah bisa jalan-jalan ke Ambon sebelum dan atau sesudah ke Maluku Tengah tanpa mengeluarkan duit pribadi itu sudah lebih dari cukup..heehe

Perjalanan saya ke Kepulauan Maluku dalam rangka melakukan survei  persepsi publik masyarakat Indonesia terhadap kepemimpinan nasional yang diselenggarakan oleh Berita Satu Media Holding. Sebuah stasiun Televisi berita yang untuk sementara ini hanya bisa diakses secara online melalui jaringan internet dan di beberapa jaringan TV Kabel di beberapa kota besar Indonesia. Tiap kali terlibat survei, saya selalu menikmati jika ditempatkan pada lokasi yang berada jauh dari pusat keramaian kota. Dan kali ini, lokasi yang menjadi tugas survei saya adalah desa Lahakaba, sebuah pulau di Kabupaten Maluku Tengah yang letaknya kuranglebih 100 km dari pusat kota dan bisa ditempuh  kuranglebih 5 jam dari Kota Masohi, Ibukota Maluku tengah. 

Hari itu, dini hari tanggal 03 januari 2013 tepatnya sekitar pukul 02 malam saya meluncur dari arah Jl Kancil menuju Bandara Internasional Hasanuddin. Saat itu cuaca kurang bersahabat sebab hujan dengan malu-malu jatuh membasahi bumi hingga menambah dinginnya malam. Dengan membonceng motor teman, saya menerobos rintik hujan sampai di sekitaran Tugu Adipura Tello karena teman yang membonceng harus pulang ke rumahnya di Antang. Saya lalu melanjutkan perjalanan dengan menumpang taxi. Sempat terpikir, kenapa tidak dari awal saya naik taxi sj biar aman dari terpaan rintik hujan. Ah, sudahlah. Tidak penting untuk membahas itu lebih panjang. 

Pesawat saya terbang sekitar pukul 03.45 WITA. Kurang lebih dua jam menempuh perjalanan udara, saya akhirnya mendarat di bandara Patimura Ambon. Sayangnya, saya tidak bisa menikmati pemandangan Kota Ambon dari atas pesawat karena kabut masih menutupi wajah kota itu dari ketinggian. Waoww, akhirnya saya pun menginjakan kaki di Kota Ambon, Pulau Maluku. Pulau yang diberi predikat oleh sejumlah penulis asing sebagai Belanda Hitam.  

Pemandangan Kota Ambon dari ketinggian. foto: wisataambonmanise.wordpress.com
....Bersambung.....