Rabu, 13 November 2013

Apa Kabar Blog ?

Apa kabar 'blog' ? Ya, kira-kira itu kalimat tanya yang cukup pas untuk menggambarkan isi tulisan dalam blog saya. Hampir tiga bulan tak ada tulisan baru yang diposting pada blog ini. Walau cukup lama tak menyambangi blog ini, bukan berarti saya tak pernah menulis dalam kurun waktu tersebut ya. Hanya saja, entah karena alasan apa saya tak pernah membuat tulisan lagi untuk mengisi blog ini, padahal selama beberapa waktu ini saya terbilang cukup sering membuat catatan dan membuat beberapa laporan riset serta beberapa usulan proposal penelitian.

Hemm, saya memang masih jadi seorang pemalas. Masih susah untuk membiasakan diri akrab dengan blog. Blog belum bisa menjadi sahabat saya, padahal saya ingin sekali menjadikannya sahabat. Saya sangat tahu, jika ingin menjadi sahabat blog, paling tidak saya mesti sering-sering mengunjunginya dan berbagai sesuatu dengannya. Namun sepertinya pengetahuan itu belum mewujud dalam tindakan yang lebih konkrit yaitu dengan sesering mungkin menulis agar keinginan untuk mengakrabkan diri dengan blog bisa terwujud.



Kamis, 22 Agustus 2013

Saya, Andan & Mr.Nic

Dunia riset adalah dunia yang penuh tantangan namun menawarkan berbagai hal baru dalam jagat pengetahuan. Bagi pemula seperti saya, menggeluti kerjaan di dunia riset sebagai peneliti lepas khususnya pada riset sosial, sejarah dan budaya adalah  kerjaan yang menantang sekaligus menyenangkan. Melalui riset, saya dapat belajar berbagai hal sekaligus melatih kepekaan atas berbagai fenomena yang saya jumpai di tengah masyarakat. 

Dunia riset adalah sebuah ruang bebas yang menuntun para peneliti untuk menemukan serta menggali berbagai fenomena unik dan menarik dalam sebuah setting masyarakat. Saya sebenarnya malu melabeli diri saya dengan sebutan peneliti. Tapi ya, inilah jalan hidup yang saya pilih saat ini. Sebelumnya, setelah meraih gelar master di salah satu kampus di Yogyakarta, saya lalu pulang ke kampng halaman di Kota Baubau. Selama kurang lebih  empat bulan (satu semester) saya mengisi waktu di kota ini sebagai dosen luar biasa di salah satu Universitas. Saya bekerja pada jJrusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan mengajar mata kuliah perencanaan kota/daerah. Sebuah mata kuliah yang sebenarnya tidak saya kuasai dan parahnya tidak menarik bagi saya, tapi karena kebijakan pimpinan jurusan yang menugaskan untuk mengajar mata kuliah tersebut, dengan nada yang cukup terpaksa saya kemudian menjalaninya. Meskipun pada perjalanannya kemudian, seiring berjalannya waktu melalui berbagai proses dan interaksi di ruang perkuliahan dengan mahasiswa, saya akhirnya belajar beberapa hal baru tentang ilmu perencanaan kota/daerah. 

Saya lalu sadar bahwa sesuatu yang tidak kita sukai bisa berubah menjadi sesuatu yang disukai karena berbagai alasan. Salah satu caranya adalah dengan berusaha mencari serta menemukan sisi lain dari sesuatu yang tidak kita sukai karena bisa jadi, kita hanya mampu melihat beberapa sisi saja sehingga membuat pandangan kita terbatasi untuk melihat sisi lain yang bisa jadi akan menarik. Sekalipun sangat singkat, pengalaman mengajar satu semester di kampus bagi saya cukup memberi banyak pelajaran. Hikmah terbaik yang saya petik adalah kita tidak boleh berhenti untuk mencari tahu berbagai hal baru sekalipun itu tidak menarik. Kini saya memilih untuk meninggalkan kampus tempat saya mengajar dengan harapan bisa menemukan hal lain di luar sana dan mencoba tantangan lain.

Seminggu sebelum puasa, saya ke Makassar untuk sebuah pekerjaan. Saya terlibat dalam sebuah penelitian tentang  pemetaan organisasi kepemudaan di Kota Makassar yang dibiayai Kementrian Pemuda dan Olah Raga dengan seorang dosen Unhas dan salah satu lembaga studi di Makassar. Singkat cerita, setelah mempersiapkan desain riset, saya ke Jakarta bersama seorang dosen Unhas untuk mempersentasikan rencana riset kami di salah satu divisi di Kemenpora RI.  Setelah kerjaan persentasi itu selesai, saya  tidak langsung balik ke Makassar. Saya sengaja tinggal beberapa hari di Jakarta untuk bertemu seorang kawan yang sebelumnya pernah menghubungi saya dan menceritakan bahwa dia punya teman peneliti dari Amerika yang akan penelitian tentang Korea di Kota Baubau. Kawan tersebut menghubungi saya karena sasuatu yang temannya ingin teliti punya sedikit kaitan dengan tema yang saya teliti sabagai bahan tesis saya untuk meraih gelar master di Sosiologi UGM 2012 lalu. 

Kawan saya itu bernama Mirwan Andan. Saya memanggilnya kak Andan. Awalnya saya agak kaget saat ia menghubungi saya sebab sejak tahun 2005 saya tak pernah lagi melihatnya di kampus Unhas. Ternyata dia menghubungi saya setelah mengobrol dengan seorang kawan (Guntur) yang juga satu kampus dengannya. Kak Andan dulunya adalah mahasiswa Sastra Prancis  Unhas namun memilih untuk meninggalkan kampus tersebut dan hijrah ke Jakarta dan menyelesaikan studinya di salah satu kampus negeri di kota itu. Sekalipun waktu di Unhas kami berbeda fakultas dan terpaut beberapa tahun, namum kami sering terlibat diskusi seputar film dan sastra saat bermahasiswa ria di Unhas beberapa tahun lalu. Saya masih ingat, di tahun 2004 beberapa kali kelompok diskusi yang saya geluti bersama teman-teman di Sospol mengadakan diskusi film di koridor Fisip Unhas dan mengajak kak Andan untuk mendiskusikan film tersebut dan berbagi pandangan serta pengetahuan terkait film yang kami tonton.

Saya lalu janjian ketemu dengan kak Andan di Jakarta untuk membahas rencana riset temannya itu di Baubau. Saat bertemu di Jakarta, meminta saya untuk menjelaskan beberapa hal yang menjadi point penting dalam tesis saya. Rupanya, beberapa penjelasan singkat itu sudah cukup menjadi referensi bagi kak Andan untuk mengajak saya bersama dia untuk mendampingi seorang antropolog asal Amerika selama melakukan penelitian di Baubau nantinya. Tentunya saya tak butuh waktu lama untuk menyatakan kesediaan membantu apalagi penelitian itu rencananya dilakukan sehari setelah lebaran Idul Fitri. Ya, begitulah kira-kira pengantar cerita tentang pertemuan saya dengan kak Andan hingga saya diperkenalkan dengan kawannya seorang antropolog dari Universitas Harvard Amerika.

Beberapa hari yang lalu, kurang lebih lima hari lamanya dari tanggal 9 – 13, disaat orang-orang masih larut dalam suka cita merayakan Idul Fitri, saya malah sibuk menemani seorang antropolog dari Universitas Harvard Amerika untuk meneliti sebuah komunitas masyarakat di Kota Baubau dan Kabupaten Buton. Peneliti tersebut bernama Nicholas Harkness yang kemudian akrab saya sapa Mr.Nic karena nama itu yang ia sebut saat saya pertama kali berkenalan dengannya. Ia seorang Assistant Professor di Jurusan Antropologi Universitas Harvard Amerika Serikat. Ia satu dari sedikit orang yang ahli tentang kajian Korea di kampusnya mengajar. Dalam 10 tahun terakhir, ia fokus meneliti dan mendalami berbagai hal yang terkait dengan Korea. Yang menjadi bidang kepakarannya adalah kajian kebudayaan, religion (kepercayaan) dan suara manusia. Sejak 2004, Mr.Nic mulai belajar dan mendalami bahasa Korea.

Sepengetahuan saya, hingga saat ini tidak banyak orang Buton maupun peneliti asing yang meneliti dan menulis tentang proyek Korea –Cia-Cia yang diprakarsai oleh yayasan Hunminjeongeum Korea dengan pihak pemerintah Kota Baubau saat Amirul Tamim menjabat sebagai Walikota Baubau pada 2009 silam. Minimnya riset dan publikasi ilmiah terkait proyek tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi para peneliti yang hendak mendalami relasi Korea dengan Cia-Cia di Baubau. Kondisi itulah yang membuat saya menjadi cukup penting bagi prof.Nic dalam hal mengumpulkan berbagai informasi dan perkembangan terkait proyek Korea – Cia-Cia. Saya lalu berbagi informasi dan pengetahuan tentang sejumlah temuan saat melakukan penelitian di lapangan termasuk menegaskan beberapa hal yang menjadi argumentasi pokok tulisan dan kesimpulan dalam tesis saya. Tentu saja, saya juga memanfaatkan kesempatan untuk menggali berbagai hal yang diketahui Mr.Nic tentang perkembangan proyek tersebut di Korea Selatan dan bagaimana pandangannya sebagai antropolog yang mendalami studi-studi tentang Korea.  Makin lama diskusi kami makin dalam dan berkembang.

Sayangnya, saya tak punya kemampuan berbahasa Inggris dengan baik. Saya tak menguasai banyak kosa kata dalam bahasa inggris. Keterbatasan bahasa itulah yang menjadi kendala saya untuk berdiskusi banyak hal secara langsung dengan mr.Nic. Selama menemaninya, saat mengobrol dan diskusi, kak Andan selalu membantu menerjemahkan apa yang saya ucapkan dan begitu pula apa yang diucapkan Mr.Nic. Meskipun kadang-kadang saat ia berbicara, saya bisa menerka-nerka maksud dari ucapannya, namun untuk menghindari penafsiran yang keliru, saya selalu meminta kak Andan untuk membantu menerjemahkannya. Uniknya, posisi kak Andan tidak semata hanya sebagai penerjemah. Dia juga adalah seorang peneliti dan  punya cukup pengetahuan tentang seni kontemporer dan budaya di masyarakat Korea Selatan, apalagi dia sudah dua kali bertandang ke negeri tirai bambu tersebut. Jadilah diskusi kami selalu bersifat tiga arah.
Dari kiri ke kana: Nicholas, Saya & Andan

Yang saya kagum dari sosok Nic adalah kerendahannya untuk mendengarkan gagasan orang lain dan mengapresiasinya. Ia sama sekali tak menunjukan arogansi intelektualnya sebagai seorang professor. Ia malah meminta saya untuk tidak memanggilnya dengan sapaan prof dan lebih senang dipanggil Nic saja. Namun ditengah kerendahannya, dalam usianya yang belum lebih 36 tahun, saya membaca kedalaman pengetahuan yang bersemayam dalam kepalanya diusianya yang terbilang sangat muda bagi seorang profesor. Di negeri ini, para professor identik dengan sosok orang tua dengan tampang berwibawa dan seringkali angkuh atas pengetahuan yang dimilikinya. Para professor di negeri ini seringkali tersinggung bahkan marah jika namanya dipanggil tanpa mengikutsertakan gelar profesornya sekalipun minim karya ilmiah yang dihasilkannya.

Interaksi saya dengan Mr.Nic memang sangat singkat. Meskipun singkat, waktu lima hari menemaninya selama berada di Pulau Buton meninggalkan sejumlah kesan dan pengalaman penting bagi saya terutama dalam hal metodologi riset. Ia dengan teliti menyiapkan berbagai hal pendukung sebelum terun riset ke lapangan. Dan saat malam setelah kembali ke hotel tempat menginap, Mr.Nic selalu mengajak saya dan kak Andan untuk mendiskusikan berbagai hal yang dia temukan di lapangan. Ia juga rajin mencatat hal-hal yang menurutnya unik, menarik dan penting dari obrolan kami. Setidaknya, apa yang dikerjakan Nic selama melakukan penelitian di Pulau Buton memberi tambahan wawasan bagi saya. Sekalipun Nic sering berkelakar bahwa ia lebih senang dianggap sebagai turis yang sedang berkunjung dan liburan di Pulau Buton ketimbang dianggap sebagai peneliti yang sedang mengumpulkan berbagai informasi dan data terkait perkembangan proyek Korea – Cia-Cia yang ditelitinya.

Pengalaman bersama kak Andan dan Mr.Nic selama berada di Pulau Buton bagi saya penting untuk dikisahkan dalam tulisan ini meskipun tidak banyak hal yang bisa saya rekam lewat tulisan ini tentunya. Saya berharap interaksi kami tidak terputus hanya saat mereka berada di Pulau Buton. Suatu saat, ketika saya menghubungi Mr.Nic lewat email untuk sekedar menyapa dan menanyakan kabar, saya berharap ia mau membalasnya. Sekalipun bagi saya, jika ia tak mengingat saya, itu bukan soal dan saya tak akan kesal karena itu..hehe..
Baubau, 17-08-13

Rabu, 12 Juni 2013

Catatan Pinggir di Kampus Unidayan

Tiap kali menginjakan kaki di dalam kampus, saya selalu merasakan adanya denyut nadi pengetahuan yang terus hidup dalam tiap tubuh manusia yang berseliweran di dalamnya dengan beragam aktivitas. Saya sering membayangkan betapa merdekanya manusia-manusia yang hari-harinya bersahabat dengan dunia kampus. Mereka yang terus menempah pengetahuan dengan berbagai bacaan dan forum-forum diskusi.

Sudah tiga bulan lebih saya menjalani sebagian hari-hariku di kampus Unidayan Baubau. Ya, sekarang saya mengajar di jurusan Sosiologi Fisip Unidayan dengan status sebagai dosen luar biasa (LB). Pilihan yang awalnya cukup sulit saya ambil karena harus memulai segalanya dari awal. Saya harus jujur mengatakan bahwa saya harus memulai proses beradaptasi kembali di Baubau kota kelahiran saya. Betapa tidak, kira-kira 10 tahun lebih saya menghabiskan waktu di perantauan. Tujuh tahun bermukim di Kota Makassar sejak tahun 2002 sampai tahun 2009 (6 tahun kuliah dan setahun wara wiri tak jelas). Kemudian tiga tahun di Jogja untuk melanjutkan studi di pascasarjana Sosiologi UGM. Setelah menuntaskan studi di Jogja, saya masih wara wiri kembali di Kota Makassar sekitar dua bulan lamanya.

Sejak bulan Februari kemarin saya memutuskan untuk menetap di Baubau dan memilih kampus Unidayan sebagai tempat belajar dan berbagi sesuatu pengetahuan dengan beberapa mahasiswa yang mengambil mata kuliah saya. Di minggu-minggu pertama mulai mengajar, saya tak punya banyak teman di kampus ini. Hanya beberapa kerabat dosen dan mahasiswa Unidayan angkatan lama yang saya kenal di luar kampus.

Untungnya, di Baubau saya punya beberapa sahabat di komunitas Respect (lembaga yang kami dirikan 5 tahun lalu sebagai ruang koja-koja bagi alumni Makassar) yang punya banyak waktu untuk menjadi teman ngobrol dan berbagi pengetahuan. Para sahabat dan kerabat yang tak banyak itulah yang kini menguatkan niat saya untuk menetap di Kota Baubau dengan kerjaan baru sebagai dosen luar biasa di sebuah perguruan tinggi swasta yang terus berbenah memperbaiki kualitas pendidikan di kota ini.

Ya, semoga saya bisa cepat beradaptasi dengan situasi baru sembari belajar tentang makna hidup, terus menempah diri dalam jagad pengetahuan di tiap sudut-sudut kampus Unidayan.


Higado, Baubau 11 Juni 2013.