Dunia riset adalah dunia yang penuh tantangan namun
menawarkan berbagai hal baru dalam jagat pengetahuan. Bagi pemula seperti saya,
menggeluti kerjaan di dunia riset sebagai peneliti lepas khususnya pada riset
sosial, sejarah dan budaya adalah
kerjaan yang menantang sekaligus menyenangkan. Melalui riset, saya dapat
belajar berbagai hal sekaligus melatih kepekaan atas berbagai fenomena yang saya
jumpai di tengah masyarakat.
Dunia riset adalah sebuah ruang bebas yang
menuntun para peneliti untuk menemukan serta menggali berbagai fenomena unik
dan menarik dalam sebuah setting masyarakat. Saya sebenarnya malu melabeli diri saya dengan sebutan
peneliti. Tapi ya, inilah jalan hidup yang saya pilih saat ini. Sebelumnya,
setelah meraih gelar master di salah satu kampus di Yogyakarta, saya lalu
pulang ke kampng halaman di Kota Baubau. Selama kurang lebih empat bulan (satu semester) saya mengisi waktu
di kota ini sebagai dosen luar biasa di salah satu Universitas. Saya bekerja pada jJrusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan mengajar mata kuliah perencanaan kota/daerah.
Sebuah mata kuliah yang sebenarnya tidak saya kuasai dan parahnya tidak menarik
bagi saya, tapi karena kebijakan pimpinan jurusan yang menugaskan untuk
mengajar mata kuliah tersebut, dengan nada yang cukup terpaksa saya kemudian
menjalaninya. Meskipun pada perjalanannya kemudian, seiring berjalannya waktu
melalui berbagai proses dan interaksi di ruang perkuliahan dengan mahasiswa,
saya akhirnya belajar beberapa hal baru tentang ilmu perencanaan kota/daerah.
Saya lalu sadar bahwa sesuatu yang tidak kita sukai bisa
berubah menjadi sesuatu yang disukai karena berbagai alasan. Salah satu caranya
adalah dengan berusaha mencari serta menemukan sisi lain dari sesuatu yang
tidak kita sukai karena bisa jadi, kita hanya mampu melihat beberapa sisi saja
sehingga membuat pandangan kita terbatasi untuk melihat sisi lain yang bisa
jadi akan menarik. Sekalipun sangat singkat, pengalaman mengajar satu semester
di kampus bagi saya cukup memberi banyak pelajaran. Hikmah terbaik yang saya
petik adalah kita tidak boleh berhenti untuk mencari tahu berbagai hal baru
sekalipun itu tidak menarik. Kini saya memilih untuk meninggalkan kampus tempat
saya mengajar dengan harapan bisa menemukan hal lain di luar sana dan mencoba tantangan lain.
Seminggu sebelum puasa, saya ke Makassar untuk sebuah
pekerjaan. Saya terlibat dalam sebuah penelitian tentang pemetaan organisasi kepemudaan di Kota
Makassar yang dibiayai Kementrian Pemuda dan Olah Raga dengan seorang dosen
Unhas dan salah satu lembaga studi di Makassar. Singkat cerita, setelah
mempersiapkan desain riset, saya ke Jakarta bersama seorang dosen Unhas untuk
mempersentasikan rencana riset kami di salah satu divisi di Kemenpora RI. Setelah kerjaan persentasi itu selesai, saya tidak langsung balik ke Makassar. Saya
sengaja tinggal beberapa hari di Jakarta untuk bertemu seorang kawan yang
sebelumnya pernah menghubungi saya dan menceritakan bahwa dia punya teman
peneliti dari Amerika yang akan penelitian tentang Korea di Kota Baubau. Kawan
tersebut menghubungi saya karena sasuatu yang temannya ingin teliti punya
sedikit kaitan dengan tema yang saya teliti sabagai bahan tesis saya untuk
meraih gelar master di Sosiologi UGM 2012 lalu.
Kawan saya itu bernama Mirwan Andan. Saya memanggilnya kak
Andan. Awalnya saya agak kaget saat ia menghubungi saya sebab sejak tahun 2005
saya tak pernah lagi melihatnya di kampus Unhas. Ternyata dia menghubungi saya
setelah mengobrol dengan seorang kawan (Guntur) yang juga satu kampus
dengannya. Kak Andan dulunya adalah mahasiswa Sastra Prancis Unhas namun memilih untuk meninggalkan kampus
tersebut dan hijrah ke Jakarta dan menyelesaikan studinya di salah satu kampus
negeri di kota itu. Sekalipun waktu di Unhas kami berbeda fakultas dan terpaut
beberapa tahun, namum kami sering terlibat diskusi seputar film dan sastra saat
bermahasiswa ria di Unhas beberapa tahun lalu. Saya masih ingat, di tahun 2004
beberapa kali kelompok diskusi yang saya geluti bersama teman-teman di Sospol
mengadakan diskusi film di koridor Fisip Unhas dan mengajak kak Andan untuk mendiskusikan film tersebut dan berbagi pandangan serta pengetahuan terkait film yang kami tonton.
Saya lalu janjian ketemu dengan kak Andan di Jakarta untuk
membahas rencana riset temannya itu di Baubau. Saat bertemu di Jakarta, meminta saya untuk menjelaskan beberapa hal yang menjadi point penting dalam tesis saya. Rupanya,
beberapa penjelasan singkat itu sudah cukup menjadi referensi bagi kak Andan
untuk mengajak saya bersama dia untuk mendampingi seorang antropolog asal Amerika
selama melakukan penelitian di Baubau nantinya. Tentunya saya tak butuh waktu
lama untuk menyatakan kesediaan membantu apalagi penelitian itu rencananya
dilakukan sehari setelah lebaran Idul Fitri. Ya, begitulah kira-kira pengantar
cerita tentang pertemuan saya dengan kak Andan hingga saya diperkenalkan dengan
kawannya seorang antropolog dari Universitas Harvard Amerika.
Beberapa hari yang lalu, kurang lebih lima hari lamanya dari
tanggal 9 – 13, disaat orang-orang masih larut dalam suka cita merayakan Idul
Fitri, saya malah sibuk menemani seorang antropolog dari Universitas Harvard
Amerika untuk meneliti sebuah komunitas masyarakat di Kota Baubau dan Kabupaten
Buton. Peneliti tersebut bernama Nicholas Harkness yang kemudian akrab saya sapa
Mr.Nic karena nama itu yang ia sebut saat saya pertama kali berkenalan
dengannya. Ia seorang Assistant Professor di Jurusan Antropologi Universitas
Harvard Amerika Serikat. Ia satu dari sedikit orang yang ahli tentang kajian
Korea di kampusnya mengajar. Dalam 10 tahun terakhir, ia fokus meneliti dan
mendalami berbagai hal yang terkait dengan Korea. Yang menjadi bidang
kepakarannya adalah kajian kebudayaan, religion
(kepercayaan) dan suara manusia. Sejak 2004, Mr.Nic mulai belajar dan
mendalami bahasa Korea.
Sepengetahuan saya, hingga saat ini tidak banyak orang Buton
maupun peneliti asing yang meneliti dan menulis tentang proyek Korea –Cia-Cia
yang diprakarsai oleh yayasan Hunminjeongeum Korea dengan pihak pemerintah Kota
Baubau saat Amirul Tamim menjabat sebagai Walikota Baubau pada 2009 silam.
Minimnya riset dan publikasi ilmiah terkait proyek tersebut menjadi tantangan
tersendiri bagi para peneliti yang hendak mendalami relasi Korea dengan Cia-Cia
di Baubau. Kondisi itulah yang membuat saya menjadi cukup penting bagi prof.Nic
dalam hal mengumpulkan berbagai informasi dan perkembangan terkait proyek Korea
– Cia-Cia. Saya lalu berbagi informasi dan pengetahuan tentang sejumlah temuan
saat melakukan penelitian di lapangan termasuk menegaskan beberapa hal yang
menjadi argumentasi pokok tulisan dan kesimpulan dalam tesis saya. Tentu saja,
saya juga memanfaatkan kesempatan untuk menggali berbagai hal yang diketahui Mr.Nic
tentang perkembangan proyek tersebut di Korea Selatan dan bagaimana
pandangannya sebagai antropolog yang mendalami studi-studi tentang Korea. Makin lama diskusi kami makin dalam dan
berkembang.
Sayangnya, saya tak punya kemampuan berbahasa Inggris dengan
baik. Saya tak menguasai banyak kosa kata dalam bahasa inggris. Keterbatasan
bahasa itulah yang menjadi kendala saya untuk berdiskusi banyak hal secara
langsung dengan mr.Nic. Selama menemaninya, saat mengobrol dan diskusi, kak
Andan selalu membantu menerjemahkan apa yang saya ucapkan dan begitu pula apa
yang diucapkan Mr.Nic. Meskipun kadang-kadang saat ia berbicara, saya bisa
menerka-nerka maksud dari ucapannya, namun untuk menghindari penafsiran yang
keliru, saya selalu meminta kak Andan untuk membantu menerjemahkannya. Uniknya,
posisi kak Andan tidak semata hanya sebagai penerjemah. Dia juga adalah seorang
peneliti dan punya cukup pengetahuan
tentang seni kontemporer dan budaya di masyarakat Korea Selatan, apalagi dia
sudah dua kali bertandang ke negeri tirai bambu tersebut. Jadilah diskusi kami
selalu bersifat tiga arah.
|
Dari kiri ke kana: Nicholas, Saya & Andan |
Yang saya kagum dari sosok Nic adalah kerendahannya untuk
mendengarkan gagasan orang lain dan mengapresiasinya. Ia sama sekali tak
menunjukan arogansi intelektualnya sebagai seorang professor. Ia malah meminta
saya untuk tidak memanggilnya dengan sapaan prof dan lebih senang dipanggil Nic
saja. Namun ditengah kerendahannya, dalam usianya yang belum lebih 36 tahun,
saya membaca kedalaman pengetahuan yang bersemayam dalam kepalanya diusianya
yang terbilang sangat muda bagi seorang profesor. Di negeri ini, para professor
identik dengan sosok orang tua dengan tampang berwibawa dan seringkali angkuh
atas pengetahuan yang dimilikinya. Para professor di negeri ini seringkali
tersinggung bahkan marah jika namanya dipanggil tanpa mengikutsertakan gelar
profesornya sekalipun minim karya ilmiah yang dihasilkannya.
Interaksi saya dengan Mr.Nic memang sangat singkat. Meskipun
singkat, waktu lima hari menemaninya selama berada di Pulau Buton meninggalkan
sejumlah kesan dan pengalaman penting bagi saya terutama dalam hal metodologi riset.
Ia dengan teliti menyiapkan berbagai hal pendukung sebelum terun riset ke
lapangan. Dan saat malam setelah kembali ke hotel tempat menginap, Mr.Nic
selalu mengajak saya dan kak Andan untuk mendiskusikan berbagai hal yang dia
temukan di lapangan. Ia juga rajin mencatat hal-hal yang menurutnya unik, menarik
dan penting dari obrolan kami. Setidaknya, apa yang dikerjakan Nic selama
melakukan penelitian di Pulau Buton memberi tambahan wawasan bagi saya. Sekalipun
Nic sering berkelakar bahwa ia lebih senang dianggap sebagai turis yang sedang
berkunjung dan liburan di Pulau Buton ketimbang dianggap sebagai peneliti yang
sedang mengumpulkan berbagai informasi dan data terkait perkembangan proyek Korea
– Cia-Cia yang ditelitinya.
Pengalaman bersama kak Andan dan Mr.Nic selama berada di
Pulau Buton bagi saya penting untuk dikisahkan dalam tulisan ini meskipun tidak
banyak hal yang bisa saya rekam lewat tulisan ini tentunya. Saya berharap
interaksi kami tidak terputus hanya saat mereka berada di Pulau Buton. Suatu saat,
ketika saya menghubungi Mr.Nic lewat email untuk sekedar menyapa dan menanyakan
kabar, saya berharap ia mau membalasnya. Sekalipun bagi saya, jika ia tak
mengingat saya, itu bukan soal dan saya tak akan kesal karena itu..hehe..
Baubau, 17-08-13