Rabu, 12 Juni 2013

Gagal Terbang

Ini adalah cerita tentang perjalanan yang gagal. Teledor, tidak bisa mengatur waktu sesuai agenda yang sudah terjadwal adalah bagian dari kebiasaan aneh (untuk tidak mengatakannya kebiasaan buruk) yang ada pada diri saya.

Kemarin , tepatnya hari kamis pagi, sekitar pukul tujuh lebih sedikit waktu Baubau, saya memutuskan untuk ke Makassar. Sekitar pukul Sembilan pagi saya menuju travel penjualan tiket pesawat untuk memesan tiket penerbangan Baubau tujuan Makassar. Beruntung, saya masih mendapatkan satu seat kosong terakhir  untuk rute penerbangan tersebut dengan jadwal penerbangan pukul 11.50 Wita (boarding 11.20 Wita).

Jika dirunut kronologisnya, selang waktu setelah membeli tiket dengan jadwal penerbangan terpaut kurang lebih dua jam. Setelah membeli tiket di sebuah travel dekat masjid raya Baubau, saya langsung pulang ke rumah lalu mulai mempersiapkan pakaian dan sejumlah keperluan lainnya yang akan dibawa ke Makassar. Saat lagi mengemas-ngemas barang, ponakan saya yang berumur dua tahun lagi asyik bermain di dekat saya seraya mengajak untuk menemaninya bermain. Seolah terhipnotis oleh ajakannya, saya seketika larut dalam permainan yang dia ciptakan, kemudian asyik bermain bersamanya.

Saking asyiknya bermain, saya tak sadar kalau jam sudah menunjukan pukul 11 lewat. Terkaget, saya  langsung buru-buru mandi, kemudian makan siang. Waktu kini menunjukan pukul 11.20 Wita. Saya lalu mulai panik tak karuan. Sialnya, saat hendak keluar rumah, hujan deras seketika membasahi bumi. Ya ampunnn, kecemasan akan ditinggal pesawat mulai menyelimuti pikiran dan suhu tubuhku seketika terasa tak normal. Beruntung, ada mobil tangki  air bapa Hendra yang datang untuk mengisi air di rumah (bapa hendra tiap hari mengisi tangki mobilnya dari sumber air sumur di rumah saya) . Setelah tangki mobilnya terisi penuh, saya lalu minta tolong untuk diantar ke jalan Betoambari untuk mencari taxi atau angkutan umum arah bandara Betoambari Baubau. Sekitar lima menit berdiri dipinggir jalan dengan guyuran rintik hujan, tak ada satupun taxi dan angkot yang lewat, hanya bentor (becak motor) yang melintas. Tak mau berlama-lama menunggu, saya pun langsung menahan bentor dan minta diantar ke Bandara.

Sekitar satu kilo meter menumpang bentor, kepanikan saya makin menjadi-jadi karena bentor yang saya tumpangi melaju dengan lambat. Karena hujan perlahan mulai reda, saya pun memutuskan untuk mengganti tumpangan dengan ojek. Kesialan tak kunjung menjauh, belum cukup satu kilometer kira-kira perjalanan dengan ojek, hujan tiba-tiba mengguyur lagi dengan deras. Pengendara ojek bertanya pada saya, apa kita berteduh untuk menghindari guyuran hujan atau kita tembus saja hujan dengan risiko kebasahan? Saya meminta ojeknya untuk terus saja melaju (saya bilang ke pengendara ojek akan menambah ongkos sebagai kompensasi mengantar saat hujan) dengan cepat sekalipun hujan terus mengguyur dan jarak pandang agak terganggu dan jalanan cukup licin karena basah.

Saya pun akhirnya sampai di bandara Betoambari Baubau. Saat memasuki area parkir bandara, zzmmmmm, pesawat Lyon meluncur dari balik ruang tunggu bandara, menukik tajam seolah menembus langit. Huuffffffft, saya hanya bisa melotot memandangi pesawat yang melaju kencang terbang lalu hilang di balik awan.
Saya pun menjadi tontonan orang-orang yang berdiri di depan bandara. Saya menangkap ada kesan iba dari sorot mata orang-orang yang memandangi saya. Mungkin saja ada diantara mereka yang berujar dalam hati “kasian orang ini, sudah basah kuyup kehujanan, ditinggal pesawat lagi”.

Ya, sekalipun hari itu saya gagal terbang. Rencana untuk ke Makassar tak padam. Hanya berselang sejam, saya langsung berburu tiket karcis, eh maksudnya tiket pesawat untuk penerbangan besok karena pesawat yang harusnya saya tumpangi tadi adalah penerbangan terakhir dari bandara Betoambari Baubau. 

Baubau, 31 Mei 2013.

Tidak ada komentar: